Bab 3: Sabu
Hanga Loko Pedae,
Mab’ba (Seba): Tempat Pembantaian
[Mereka dibawa] dengan jalan kaki dari RS Seba . . . menuju
ke asrama polisi, baru . . . belok . . . menuju Sabu Timur ke lapangan, lalu ke
Hanga Loko Pedae [artinya, Celah Kali Kering Selalu Dibicarakan], ujung lapangan terbang Terdamu. Sampai
sekarang masih melekat itu nama Hanga Loko Pedae. [Perjalanan] sekitar satu jam. Pendamping dan begitu
banyak massa mengiringi dari belakang. Malah setelah kita sampai di lokasi juga
massa sangat banyak yang menunggu di sana.
Setelah sampai lokasi, saya dan Wadu . . . menurunkan Mara ke dalam lubang
. . . sambil dipegang tangannya. Setelah sampai, kami kasi duduk di dalam, lalu
kami naik ke atas. Sementara kami naik dan kaki kami . . . masih tergantung
dalam lubang, langsung ada cahaya seperti kilat yang disusul dengan bunyi
dentuman.
Setelah itu
saya menoleh ke belakang, ternyata kepala dari Mara tidak ada lagi, hilang.
Yang lainnya setelah saya di atas, menyusul satu per satu seperti yang pertama
tadi—kedua, ketiga, dan seterusnya sampai selesai. Setelah lubang setengah
terisi dengan mayat, maka yang akan dieksekusi didudukkan di pinggir lubang
sebelah barat, jadi mereka didudukkan dengan kakinya tergantung ke bawah.
Tinggal ditembak dengan senapan atau parang. Dan menurut yang saya tahu, dengan
parang hanya dua saja. [Yang memancung
adalah] tentara [seorang Sabu] . . . Pada waktu itu saya sudah beralih
tugas untuk memegang . . . [lampu gas]
di samping korban yang akan dieksekusi. Jadi setelah dipancung, korban seperti
terangkat dan langsung jatuh. Setelah jatuh, ditendang ke dalam lubang. Saya
berdiri sekitar satu meter dari korban sehingga saya bukan hanya kena percikan
darah, tapi mandi darah dan mandi otak.
Kesasksian Narasumber (Pelaku)
PENGHANCURAN PEREMPUAN GURU
SABU-RAIJUA OLEH NEGARA
Paoina Bara Pa dan Dorkas Nyake Wiwi
Pengantar
Gad’i, salah satu korban perempuan yang
masih hidup dalam usia 83 tahun, berkisah dengan penuh emosi tentang sejarah
pahit 1965-66: “Apa salahku?” Sambil meraung menahan dadanya, bahkan berbaring lemas di atas sofa,
mulutnya terus berbicara pengalaman demi pengalaman kekerasan yang dialaminya.
Suatu hari aku
digiring masa dalam keadaan hamil tua, anak ketiga. Berkali-kali saya semaput
di jalan hingga dijeblos dalam tahanan. Waktu itu ada banyak perempuan dan laki
laki ditahan di rumah-rumah penduduk dengan alasan PKI/Gerwani.[1]
Kudeta kekuasaan di Jakarta 1965 melebar
sampai ke seluruh pelosok kampung-kampung di tanah air, termasuk Sabu-Raijua.
Tulisan ini bercerita tentang pengalaman masyarakat Sabu-Raijua sehubungan
dengan kekerasan negara melalui Peristiwa 1965-66. Kekerasan dan kejahatan
terhadap kemanusiaan itu berupa penangkapan, penahanan, penghinaan tahanan
perempuan; pembunuhan terhadap 34 orang, baik aktivis PKI maupun yang
di-PKI-kan; teror; kerja paksa; wajib lapor; pemberhentian dari kerja sebagai
guru dan pegawai negeri lain pada tingkat kecamatan; dan pembatasan hak-hak
politik korban. Trauma dan stigma juga terus dilestarikan oleh Orde Baru di
tengah masyarakat Sabu-Raijua sampai saat ini. Bila terjadi kekacauan dan
keributan selalu dihubungkan dengan PKI dan ungkapan-ungkapan pelecehan
terdengar seperti, “Dasar orang PKI/Gerwani.” Bila ada orang yang kritis dan
pintar, dia juga dicap
PKI/Gerwani, demikian diungkapkan salah satu anak korban.[2]
Kami Tim Sabu berusaha memetakan dampak
Peristiwa 1965-66 terhadap dunia pendidikan, dalam hal ini para guru perempuan.
Banyak guru yang dibunuh tanpa proses pengadilan, baik sebagai pengurus PKI
maupun yang di-PKI-kan (dicap PKI, padahal tidak). Guru-guru perempuan, baik
aktivis maupun yang bukan mengalami kekerasan fisik, ekonomi, dan psikis,
bahkan trauma yang berkepanjangan.
Penghancuran para guru, baik laki-laki dan
perempuan, merupakan tamparan keras bagi Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)
sebagai lembaga sipil di tengah masyarakat Sabu-Raijua yang telah berkiprah
melalui pendidikan sebelum negara Indonesia berbuat apa-apa di sana. Banyak
sumber daya warga GMIT yang jadi korban sia-sia dari politik kekuasaan 1965 di
Jakarta. Masyarakat adat juga terperanjat mengalami kejahatan negara melalui
pembunuhan, bahkan teror. Atas nama penghancuran PKI, mereka dipaksa beralih kepercayaan
(dari agama asli ke gereja) sebagai tanda mereka ber-Tuhan. Yang aneh, ada masyarakat
tanpa tahu titik masalahnya tetap melakukan kekerasan terhadap sesamanya.
Peristiwa 1965 seolah-olah sejarah tabu: loe
diam, loe aman; loe tanya, loe mati. Tetapi saat ini, para korban di
Sabu-Raijua mau membuka sejarah bisu tersebut seperti yang terekam dalam
tulisan ini. Dari pengalaman selama penelitian, korban terbuka karena mereka
percaya kepada tim yang mau mengunjungi, mendengar penderitaan mereka, dan berdoa
bersama. Ada alasan lainnya mereka terbuka seperti dikatakan seorang anak korban,
bahwa mereka telah mengikuti perkembangan sejarah ’65 di televisi, apalagi
keputusan Presiden Abdurrahman Wahid yang memberi ruang politik pada para
korban sebagai warga negara.[3]
Riset ini sesuatu yang baru dan mengejutkan
korban, saksi dan pelaku; tetapi pada umumnya mereka sangat terbuka dan ini hal
luar biasa. Semua bertutur bahwa telah terjadi tragedi kemanusiaan di
Sabu-Raijua.
Click link below to continue reading:
Read more Part 1 click here Read more Part 2 click here
[1] Gad’i, wawancara di Ledemanu, Sabu, 21 Nopember 2010.
[2] Alu, wawancara di Ledemanu, Sabu, 24 Nopember 2010.
[3] Alu, anak Wila waktu wawancara sama Wila, 24 Nopember 2011, Ledemanu, Seba.